Wednesday, August 26, 2015

Per(empu)an

Prolog
 
Sebelum memulai tulisan kali ini, kuucapkan selamat padamu wahai perempuan. Dunia tengah merayakan hari jadi untukumu. Entah atas dasar apa perempuan mendapatkan hari spesial. Walaupun sebetulnya, mungkin bukan itu yang perempuan inginkan. Bicara tentang perempuan bukanlah hal yang mudah. Meskipun terlahir sebagai seorang perempuan, sampai detik ini kita masih mencari cara yang pantas untuk dapat bercerita tentang perempuan. Karena di balik paras manis terdapat sedikit pilu yang membuat hati meringis.

Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya, di mana kaum perempuan masih terikat oleh adat dan takluk kepada panggilan para tuan. Seorang Putu Fajar Arcana, Redaktur Sastra dan Budaya Harian Kompas pernah berkata, "Sastra boleh terpencil, tidak dilirik, tetapi gagasan harus terus lahir dan dikumandangkan". Oleh karena itu, izinkanlah tulisan kali ini berbagi sedikit cerita dan setumpuk rasa dari daerah perbatasan, di mana polusi kian meraja rela. Sepenggal sudut pandang dari seorang manusia. Sebut saya namanya Puan, nama lengkapnya Perempuan.

Perempuan sedang menikmati cuaca cerah yang enggan menampakknya teduh di tengah sengatan matahari. Disusuri olehnya sepanjang trotoar dan hiruk pikuknya jalan. Baginya, aroma kebebasan sekarang tidak lagi sepekat dahulu. Ia kembali menelusuri ingatannya sendiri. Semakin liar dan menggeliat jauh pikirannya. Semakin jauh ia telusuri, semakin ia temukan kebebasan yang menggelepar hampa di selayang pandang matanya. Baginya, aroma kebebasan tidak lagi menusuk hidung dan merambat hingga ke tulang.

Matanya meradang jauh dan ia menalar masa depan yang bahkan belum ia rencanakan. Apa manusia dapat bertransformasi sehingga membuat dirinya berbeda dengan jati diri yang sesungguhnya. Dia tahu persis di mana ia tinggal dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Tapi ia merasa kehilangan arah dan tujuan kehidupannya. Sambil menatap telapak dan jari tangannya yang ramping, ia berharap bahwa masa depannya lebih dari sekedear cincin di jari manis.

Cincin belum dilingkarkan manis di jari kiri. Sebut saja ia adalah tawanan hati dimana sang empunya telah memegang kunci hati. Karena baginya,aroma kebebasan telah diganti dengan aroma pikuk perasaan. Entah karena efek doa dari sang ibunda yang rajin siang petang mengadu kepada Sang Maha agar putri kecilnya dilindungi dan mendapat pangeran sejati. Karena menurutnya, aroma kebebasan terhalang oleh aroma pikuk pikiran.

Matanya kembali menjalar ke seluruh sudut kota. Ia terus telusuri panjang jalanan sembari merajuk dalam tulisan dan melilit dalam hati. Sudut kanan matanya berair. Matanya ditahan agar tidak tumpah ruah. Namun apa daya akhirnya aksara yang keluar membuncah. Entah ini akibat doa atau gelisah berkepanjangan. Namun yang pasti, paras manisnya terlihat murung.

Sudut matanya menatap ruang kosong. Berharap pikirannya ikut melompong dan berhenti meraung. "Selama jantung masih berdetak, selama itu pula keberanian masih berderak" ucapnya dalam hati.

Baginya, aroma kebebasan adalah aroma yang memacu adrenalin dan nyali. Ia sedang ingin menikmati ketenangan namun bising yang ia dapatkan. Rupanya musik dari konser di gedung sebelah terlalu gaduh dan membuat pikirannya buyar. Ia sedang asyik bercerita lewat tulisan. Terkadang pena memang bergulir tanpa kehendak hingga memuntahkan kotoran dan meredam gelisah.

Sudut matanya berair dan kelopak matanya semakin sayu layaknya melati yang kian layu. Dalam benaknya sendiri kemudian Perempuan bertanya, "Ada apa gerangan wahai manisku?". Matanya hanya mampu menerawang jauh dan menatap masa depan yang tiada bersauh.

Sudah pukul 22.35.
Otaknya terus berputar, bahkan lebih cepat daripada jam dinding.

Bandung, 6 Agustus 2015
Ketika pasta dan teh susu berpadu menjadi sudut pandang seorang perempuan.
 
 

No comments:

Post a Comment