Sunday, October 1, 2017

The Perks of Being A Pengajar Muda

"Ibu ke mana saja? Lama sekali perginya! Torang so batunggu di sekolah."

Itu kalimat yang selalu diucapkan anak muridku apabila aku pergi dari desa terlalu lama demi menjalankan tugas di Kabupaten. Rekor terlamaku meninggalkan desa telah kuraih bulan September ini. Terhitung tanggal 1 Oktober 2017 ini aku resmi telah 30 hari meninggalkan desa. Bukan hanya aku yang bernasib seperti ini, teman Pengajar Muda lain pun sudah hampir 1 bulan meninggalkan desa penempatannya masing-masing.

Kehidupan menjadi Pengajar Muda adalah kehidupan yang luar biasa dimana setiap harinya adalah hari tantangan yang patut dilampui dan juga disyukuri. Bagaimana tidak? Sebagai Pengajar Muda, kami diembankan tiga amanah utama, yaitru pengajaran di sekolah, pelibatan daerah dan pengembangan masyarakat. Jadi, secara singkat Pengajar Muda tidak sepenuhnya hanya bertugas menjadi guru yang mengajar di sekolah tapi juga memiliki amanah lain untuk mendorong keterlibatan banyak pihak demi memajukan pendidikan di Kabupaten penempatan. Sebagai pelari terakhir di Kabupaten Banggai, kami berdelapan-PM XII Kab. Banggai, hampir menghabiskan 60% waktu untuk bekerja di tingkat kabupaten. Apa saja yang dikerjakan? Mulai dari pertemuan dengan pemerintah daerah, merancang program keberlanjutan, membuat jejaring multiaktor, menjalankan program kerelawanan, dan lainnya. Intinya, kami banyak terpapar dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan para penggerak di kabupaten. 

Kami berdelapan sedang sibuk mengurus rangkaian IM Minsule yang artinya IM Pamit. Minsule diambil dari bahasa Saluan (salah satu bahasa suku asli di Kab. Banggai) yang artinya pamit. Selama bulan september kemarin, kami sibuk melakukan roadshow ke desa penempatan PM untuk menjalankan Kegiatan Belajar dan Bermain (KBB). Selain melaksanakan KBB, kami pun menjalankan Kelas Inspirasi Banggai 4 (KIB 4) di Kecamatan Pagimana dengan teman-teman penggerak.  KIB 4 diinisiasi oleh teman-teman penggerak dari Relawan OKE dan alhamdulillah berhasil mendatangkan hampir 40 inspirator dari dalam dan luar kabupaten. 

Oke. Aku sudah lama tidak menulis dan menstukturan isi kalimat di dalam otak. Tapi hari ini aku merasa sangat berapi-api dan meluap. Kata pujaan hatiku di kota Cikarang, ia berpesan seperti ini, "Teruslah berapi-api tapi hati-hati terbakar." Sudah tepat 10 bulan aku bertugas di Kabupaten Banggai. Rasanya sisa 2 bulan terakhir ini adalah masa dimana lidah api dari dalam tubuhku mulai menjilati seluruh tubuhku. Sedikit yang sudah kutinggalkan tapi lebih banyak yang belum kulakukan. Kata siapa jadi Pengajar Muda hanya berinteraksi dengan anak-anak manis di bangku sekolah? Tugas kami ternyata lebih besar dari itu. Maka, jangan heran bila aku jarang post foto dengan anak-anak muridku di sekolah (meskipun aku punya banyak sekali foto mereka yang lucu dan aku bingung memilih mana yang ingin aku post hihi).

Bagi mereka yang penasaran, kapan Bu Guru Destin pulang ke tanah Parahyangan, jawabannya adalah secepat matahari terbenam dan terbit kembali. Sisa hidupku di tanah Banggai adalah 2 bulan atau 60 hari atau 1440 jam. Jika perhitunganku tepat, aku habiskan waktu tidur 8 jam sehari, berarti itu menyisakan 960 jam untukaku beraktivitas dan menjadi faedah untuk orang banyak. Mengingat padatnya kalender kegiatan di Kabupaten, aku akan menghabiskan sekitar 60% waktu untuk bekerja dan meninggalkan desa. Itu berarti, aku hanya memiliki sisa  384 jam untuk kuhabiskan dengan anak-anak muridku yang lucu di desa (inhale and exhale and inhale and cry and stop).

Ternyata menjadi Pengajar Muda tidak hanya harus pandai mengambil hati anak-anak di dalam kelas. Bukan hanya tertantang untuk mengajar kreatif dan menyenangkan di sekolah. Bukan hanya hidup dan membaur dengan masyarakat desa yang sederhana dan kaya akan kebaikan. Bukan hanya bekerja dengan relawan dan penggerak kabupaten. Bukan hanya menjalin komunikasi dan kerjasama dengan stakeholder kabupaten. Bukan hanya menginisiasi program keberlanjutan. Bukan hanya itu semua...

Menjadi Pengajar Muda adalah tentang satu tahun padat makna dan kaya akan refleksi diri. Satu tahun ini adalah momen untuk berkaca pada diri sendiri, belajar berdamai dengan masa lalu, memberikan sebanyak manfaat di masa kini dan menyiapkan visi di masa depan.

Sekian dulu refleksi hari ini. Bu Guru janji akan rajin bercerita di sini. Salam hangat!

Luwuk, 1 Oktober 2017


Tuesday, July 11, 2017

Mereka Panggil Saya Bu Guru

LENSA PERTAMA


Teman-teman selalu bertanya kepada saya.
"Des, mana cerita-cerita mu selama penugasan di Banggai?" atau "Des, blog nya kosong sih ga ada ceritanya?" atau bahkan "Des, aku butuh cerita inspiratif dari kamu dong! Jadi Pengajar Muda pasti banyak banget deh pengalaman-pengalaman yang menggugah".
Well.. sesungguhnya jadi Pengajar Muda tidak sekeren dan tidak sehebat itu kok (padahal dalam hati merasa keren banget haha).

Sebenernya saya selalu meniatkan diri untuk menuliskan pengalaman sehari-hari saya dalam sebuah tulisan. Namun apa daya, ternyata kemampuan menulis saya menumpul. Rasanya sulit sekali untuk menumpahkan semua rasa dan mata dalam goresan-goresan huruf. Terlalu banyak cerita yang antri dalam otak. Satu-satu memaksa untuk bisa masuk dalam cerita ini. Ternyata benar kata orang, yang susah dari menulis adalah untuk memulai.

Untuk memulai bercerita, saya mohon maaf, khususnya kepada diri saya sendiri. Saya mohon maaf karena sudah mengkhianati pikiran saya sendiri. Saya mengingkari diri saya sendiri untuk selalu menangkap setiap momen penting dan dilahirkan menjadi narasi masterpiece (anjay). Tapi nyatanya baru satu narasi yang lahir selama tujuh bulan ini.

Sudah genap tujuh bulan saya bertugas di Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Secara khusus saya diamanahkan untuk menjadi seorang guru di satu Dusun yang mungkin kita semua tidak sadar akan keberadaannya. Di SDN Trans Batui 5, Dusun Batui 5.

Seorang temanku yang baik pernah bertanya. "Des, kalau kamu pulang dari Banggai, kira-kira apa sih yang bakal bikin kamu kangen?". Hari itu dengan lantang aku menjawab, "Langit, laut dan anak-anak."
Tapi setelah hampir genap tujuh bulan bertugas, aku baru sadar satu hal. Ternyata yang akan membuatku rindu menjadi seorang Pengajar Muda adalah teriakan-teriakan dari anak-anakku saat mereka memanggilku, "Bu Guru! Bu Guru!".

Yap. You heard me right. They call me "Bu Guru" instead of "Bu Destin." Itu adalah salah satu cara mereka untuk menghormati para guru yang bertugas, dengan memanggil kami Bapa dan Ibu Guru, bukan menyebutkan nama. Bukan hanya anak-anak yang memanggilku demikian, tapi juga orang tua.

Jadi hari ini dada saya penuh dengan kebahagiaan dan kepala saya penuh dengan cerita. Kalau ada yang bertanya, cerita apa yang bisa saya bagikan? Bisa jadi ini jawaban saya setelah 7 bulan penempatan, "Mereka panggil saya Bu Guru."

Luwuk, 11 Juli 2017

Monday, January 4, 2016

Eventually

She was thinking.
Yet the clock kept ticking.
She was wondering.
What was she doing?

She was trying.
Yet she couldn't sleeping.
Her eyes still leaking.
As her lips kept smiling.

She was thinking.
While the clocks kept ticking.
And the night turned into the morning.
Eventually.

Wednesday, December 9, 2015

Lost in Translation

Jangan kalah oleh lelah.
Jangan pasrah pada lelah.
Tuhan bersamamu di setiap langkah.
Tuhan mendampingimu di segala arah.

Jangan katakan salah jika lelah.
Jangan ucapkan lemah ketika lelah.
Tuhan tempatmu berserah.
Tuhan tempatmu mengadu gelisah.

Seliar kuda, segagah singa.
Taklukmu pada dunia, bukan manusia.
Dari tanah kita lahir, tanpa darah kita kembali.

Bandung, 9 Desember 2015
Ketika pertanyaan membutuhkan jawaban dan lidah bertemu gelisah.
Jawabannya ada hingga ujung antah berantah.
Mungkinkah?

Tuesday, November 10, 2015

730 Langit Senja

Langit senja hari ini kupersembahkan untukmu.
Seuntai doa telah kupanjatkan sebagai syukur atas kehadiranmu.
Kita tahu bahwa rasa selalu bermuara pada satu nama tertentu.
Dalam hal ini, namamu telah menjadi muara baru untukkku.

Terima kasih untuk semua tawa dan haru.
Untuk selalu memberi arti dan hangat di setiap hari baru.
Untuk semua pelajaran, kesabaran dan kedewasaan.
Hingga hari ini kita masih saling menemani dan tetap bertahan.

Terima kasih untuk 730 langit senja yang sudah kau beri warna.
Semoga masih ada ribuan langit senja yang dapat kita warnai bersama.
Hari ini bukan hari perayaan atau ulang tahun untuk kita.
Tapi hari ini telah menjadi tanda bahwa kasih senantiasa tumbuh di dalam dada.

Teruntuk padamu matahari pagi dan pelukis langit senja.
Kuucapkan selamat tahun baru.
Kudoakan semoga dan selalu.
Karena hanya padamu sebuah ucapan penuh rindu.

Bandung, 10 November 2015.

Wednesday, August 26, 2015

Per(empu)an

Prolog
 
Sebelum memulai tulisan kali ini, kuucapkan selamat padamu wahai perempuan. Dunia tengah merayakan hari jadi untukumu. Entah atas dasar apa perempuan mendapatkan hari spesial. Walaupun sebetulnya, mungkin bukan itu yang perempuan inginkan. Bicara tentang perempuan bukanlah hal yang mudah. Meskipun terlahir sebagai seorang perempuan, sampai detik ini kita masih mencari cara yang pantas untuk dapat bercerita tentang perempuan. Karena di balik paras manis terdapat sedikit pilu yang membuat hati meringis.

Sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya, di mana kaum perempuan masih terikat oleh adat dan takluk kepada panggilan para tuan. Seorang Putu Fajar Arcana, Redaktur Sastra dan Budaya Harian Kompas pernah berkata, "Sastra boleh terpencil, tidak dilirik, tetapi gagasan harus terus lahir dan dikumandangkan". Oleh karena itu, izinkanlah tulisan kali ini berbagi sedikit cerita dan setumpuk rasa dari daerah perbatasan, di mana polusi kian meraja rela. Sepenggal sudut pandang dari seorang manusia. Sebut saya namanya Puan, nama lengkapnya Perempuan.

Perempuan sedang menikmati cuaca cerah yang enggan menampakknya teduh di tengah sengatan matahari. Disusuri olehnya sepanjang trotoar dan hiruk pikuknya jalan. Baginya, aroma kebebasan sekarang tidak lagi sepekat dahulu. Ia kembali menelusuri ingatannya sendiri. Semakin liar dan menggeliat jauh pikirannya. Semakin jauh ia telusuri, semakin ia temukan kebebasan yang menggelepar hampa di selayang pandang matanya. Baginya, aroma kebebasan tidak lagi menusuk hidung dan merambat hingga ke tulang.

Matanya meradang jauh dan ia menalar masa depan yang bahkan belum ia rencanakan. Apa manusia dapat bertransformasi sehingga membuat dirinya berbeda dengan jati diri yang sesungguhnya. Dia tahu persis di mana ia tinggal dan dari rahim siapa ia dilahirkan. Tapi ia merasa kehilangan arah dan tujuan kehidupannya. Sambil menatap telapak dan jari tangannya yang ramping, ia berharap bahwa masa depannya lebih dari sekedear cincin di jari manis.

Cincin belum dilingkarkan manis di jari kiri. Sebut saja ia adalah tawanan hati dimana sang empunya telah memegang kunci hati. Karena baginya,aroma kebebasan telah diganti dengan aroma pikuk perasaan. Entah karena efek doa dari sang ibunda yang rajin siang petang mengadu kepada Sang Maha agar putri kecilnya dilindungi dan mendapat pangeran sejati. Karena menurutnya, aroma kebebasan terhalang oleh aroma pikuk pikiran.

Matanya kembali menjalar ke seluruh sudut kota. Ia terus telusuri panjang jalanan sembari merajuk dalam tulisan dan melilit dalam hati. Sudut kanan matanya berair. Matanya ditahan agar tidak tumpah ruah. Namun apa daya akhirnya aksara yang keluar membuncah. Entah ini akibat doa atau gelisah berkepanjangan. Namun yang pasti, paras manisnya terlihat murung.

Sudut matanya menatap ruang kosong. Berharap pikirannya ikut melompong dan berhenti meraung. "Selama jantung masih berdetak, selama itu pula keberanian masih berderak" ucapnya dalam hati.

Baginya, aroma kebebasan adalah aroma yang memacu adrenalin dan nyali. Ia sedang ingin menikmati ketenangan namun bising yang ia dapatkan. Rupanya musik dari konser di gedung sebelah terlalu gaduh dan membuat pikirannya buyar. Ia sedang asyik bercerita lewat tulisan. Terkadang pena memang bergulir tanpa kehendak hingga memuntahkan kotoran dan meredam gelisah.

Sudut matanya berair dan kelopak matanya semakin sayu layaknya melati yang kian layu. Dalam benaknya sendiri kemudian Perempuan bertanya, "Ada apa gerangan wahai manisku?". Matanya hanya mampu menerawang jauh dan menatap masa depan yang tiada bersauh.

Sudah pukul 22.35.
Otaknya terus berputar, bahkan lebih cepat daripada jam dinding.

Bandung, 6 Agustus 2015
Ketika pasta dan teh susu berpadu menjadi sudut pandang seorang perempuan.
 
 

Somebody To Lean On

"All we need is somebody to lean on"

-MAJOR LAZER, Song:Lean On-
Ketika memulai lebih sulit dibandingkan dengan mengakhiri. Ketika mengakui kekurangan diri lebih sulit dibandingkan dengan mengkritiki. Ketika kaki lebih berat untuk kembali berlari. Ketika mata hati mulai tertutupi oleh kefanaan duniawi. Ketahuliah, kita tidak pernah sendiri.
Ketika kita merasa dikucilkan oleh dunia. Ketika kita merasa dikerdilkan oleh cobaan dan kompetisi mahadahsyat daripada ujian Sang Maha Kuasa. Ketika kita merasa nyali diciutkan oleh nafas ketakutan yang terpampang nyata. Ketika kita merasa di perbatasan keraguan antara meramu mimpi atau menjamu realita. Ketahuilah, sebesar-besarnya pengkhianatan adalah pada hati dan mata nurani. 

Ketika lisan tak mampu berucap dan perasaan hendak meluap. Ketika otak terus berputar mencari jalan pintas menuju jalan kebenaran. Ketika api dalam dada mulai padam dan semangat juang mulai teredam. Ketika esok berganti kemarin dan rencana berganti wacana. Ketahuliah, waktu terus berdetak dan enggan untuk menanti.
Sometimes in our lives
We all have pain, we all have sorrow
But if we are wise
We know that there's always tomorrow

Lean on me when you're not strong
And I'll be your friend, I'll help you carry on
For it won't be long
'Til I'm gonna need somebody to lean on

Please, swallow your pride
If I have things you need to borrow
For no one can fill those of your needs
That you won't let show

-BILL WITHERS, Song:Lean On Me-
 
Bandung, 26 Agustus 2015
Untuk seorang kawan dan teman perjalanan, ketahuilah bahwa kebaikan dan kelembutan hati akan selalu menyertaimu.